26 September, 2007

Untuk Inspirasi Alumni PIKA

Dari Mendesain sampai Purna Jual

KETIKA Diana Dewi (32) lulus dari Jurusan Desain Interior, Universitas
Trisakti, dia bingung ke mana mesti melamar pekerjaan. Saat itu, krisis
moneter mendera Tanah Air, hingga pembangunan rumah maupun gedung tidak
berjalan dan banyak orang yang sudah bekerja terkena pemutusan hubungan
kerja (PHK).

KALAU mereka yang punya pengalaman kerja saja di-PHK, apalagi saya yang
fresh from the oven. Jadi, saya tahu diri, saya enggak melamar pekerjaan ke
perusahaan konsultan, developer, atau produsen mebel. Kebetulan sewaktu
kuliah, kami harus membuat tugas berbagai produk, jadi saya kenal beberapa
tukang kayu, kata Diana, desainer interior Kagelupe Home Design di kawasan
Kemang, Jakarta Selatan.

Diana pun memberanikan diri membuat mebel dan menyediakan jasa mendesain
interior. Agar orang mengenalnya, Diana kerap mengikuti pameran dan bazar.
"Konsumen awal saya justru orang asing, makanya setelah punya sedikit uang,
saya membuka tempat kecil di Kemang, kawasan tinggalnya orang asing di
Jakarta," Diana mengenang.

Konsep yang ditawarkan Diana adalah mendesain sekaligus membuatkan mebel
sesuai hasil kesepakatannya dengan konsumen, dan harganya dibuat semurah
mungkin. Meskipun relatif murah, namun kualitas tetap diutamakannya. Alasan
Diana, "Untung tidak perlu banyak, rugi pun enggak apa-apa, asal konsumen
puas dan mau cerita ke teman-temannya. Maka, kesinambungan pesanan ini yang
saya cari," ujarnya.

Oleh karena dia menyukai gaya modern simpel, maka desain mebel produknya pun
umumnya bergaya sama. Agak berbeda dengan Diana yang memang punya latar
belakang desainer interior, Hery Pramono (31) yang lulus sebagai arsitek,
justru lebih tertarik mendesain interior dan memproduksi mebel.

"Sejak semester dua, sekitar tahun 1993 saya sudah menerima pesanan bufet.
Kebetulan saya kenal tukang yang bagus, makanya dengan sedikit kemampuan
menggambar saya bisa berkomunikasi dengan konsumen maupun tukang kayu," kata
Hery yang sejak tahun 2000 memiliki tempat kerja dan sekitar 30-an pekerja
di kawasan selatan Jakarta.

Sebagian "ilmu" soal mebel justru diperoleh Hery dari para tukangnya. Dia
mengaku daya imajinasi, kemampuan menggambar, dan hobinya menata ruang yang
membawanya ke dunia desain interior. "Setelah sekitar delapan tahun menekuni
desain interior dan membuat mebel, saya tahu di sini diperlukan selera yang
bagus dan insting yang kuat. Sementara persoalan teknisnya bisa menyusul
kemudian," tutur Hery yang punya kliennya menyebar dari Tanjung Duren,
Jakarta Barat, sampai Cilandak, Jakarta Selatan.

Tak jauh berbeda dari Hery, Nancy Lianita (26), yang berlatar belakang
pendidikan arsitektur, juga memberanikan diri menekuni desain interior
sekaligus memproduksinya. "Saya merasa tidak sanggup bekerja sebagai
arsitek. Ini pekerjaan jangka panjang, dan selama itu pula kita mesti
berhubungan terus dengan tukang yang kelakuannya macam-macam," kilahnya.

Sementara sebagai desain interior sekaligus produsennya, dia merasa lebih
pas, karena pekerjaan membuat mebel relatif lebih cepat daripada membangun
rumah, dan tak memerlukan banyak tukang. "Konsumen saya banyak yang minta
desain untuk dapur dan lemari untuk kamar baju," kata Nancy yang sekarang
punya 18 tukang ini.

HERY, Nancy, dan Diana hanyalah sebagian dari banyak orang dari berbagai
latar belakang yang-terutama setelah krisis moneter-terjun menjadi desain
interior sekaligus memproduksinya. Dalam berhubungan dengan konsumen, mereka
tak hanya berlaku sebagai desain interior saja, tetapi sekaligus menjadi
produsennya.

Alasan umum yang dikemukakan, dengan memiliki tempat kerja sendiri, mereka
merasa lebih mudah mendapatkan desain seperti yang diinginkan. Padahal
sebagian orang berpendapat, desainer interior sebaiknya berkonsentrasi pada
penataan ruangnya semata, sementara produksi diserahkan kepada yang lain.
Alasannya, dalam hal ini desainer interior pun berfungsi sebagai "alat
kontrol" terhadap barang yang sudah dipesan sesuai kesepakatan desainer
interior dengan konsumennya.

Bila desainer interior sekaligus menjadi produsen mebelnya dikhawatirkan
idealisme artistik dan kepentingan konsumen bisa terabaikan.
Pertimbangannya, bila barang yang diproduksi ternyata tak sesuai dengan tata
interiornya, bisa-bisa si desainer interior mengalahkan penataan interiornya
sebab dia tak ingin merugi dengan membetulkan atau membuat baru mebel yang
tak sesuai tersebut.

Mengenai hal itu, Hery mengatakan, sebelum mencapai kesepakatan dengan
konsumennya, dia biasanya telah mengadakan berkali-kali pembicaraan disertai
dengan gambar-gambar. Dia harus merasa yakin bahwa konsumennya paham
maksudnya, dan mereka sepakat dengan apa yang ditampilkan dalam gambar tiga
dimensi buatannya.

"Agar bisa tetap berkonsentrasi, saya membatasi diri dalam mengerjakan
proyek. Pada saat bersamaan, paling banyak saya mengerjakan tiga proyek
saja. Saya takut overload dan mengakibatkan duplikasi pada desain mebelnya,"
kata Hery. Kalau dia tidak membatasi diri, dalam sebulan bisa lima proyek
datang padanya. Seandainya klien setuju, dia akan menunda proyek yang datang
sampai proyek yang tengah dikerjakannya selesai. Akan tetapi, bila kliennya
terburu-buru, permintaan itu terpaksa ditolaknya.

Ibaratnya pemain sinetron yang bisa pecah konsentrasinya bila harus bermain
dalam banyak judul dalam masa syuting bersamaan, para pendesain dan pembuat
mebel ini juga khawatir tak bisa memuaskan konsumennya. Diana yang kini
tengah menyelesaikan tujuh proyek, berani menerima sekitar 10 proyek dalam
masa bersamaan karena dalam menjalankan usahanya dia dibantu teman-temannya
yang juga desainer interior.

"Seperti sekarang ini, pada saat yang sama saya harus menyelesaikan 7-10
proyek, dan semuanya minta selesai sebelum hari Lebaran. Kami harus bekerja
keras supaya proyek bisa selesai tepat waktu dengan kualitas terjaga," kata
Diana yang kini mempunyai 20 orang pekerja di bengkelnya.

Hubungan dengan konsumen pun tidak terputus begitu proyek selesai. Diana dan
Hery misalnya, mau menerima perbaikan atau perubahan yang diinginkan
konsumennya pada mebel produk mereka, meskipun usia mebel sudah dua-tiga
tahun. Ini semacam servis purna jual, dengan ongkos tak semahal pembuatan
baru.

KALAU mendengar cerita beberapa desainer sekaligus produsen interior,
tampaknya bidang usaha ini masih terbuka. Mereka memang keberatan
menyebutkan berapa omzet usahanya selama ini. Namun hal pasti, kalau semula
mereka mengerjakan interior rumah-rumah kalangan menengah ke atas, sekarang
mulai merambah ke kantor dan juga interior untuk kafe-kafe.

Diana misalnya, berusaha berpromosi lewat televisi dengan menyediakan mebel
yang dibutuhkan stasiun televisi tersebut. Lewat cara inilah orang mengenal
namanya, dan pesanan pun datang. Maka, kalau semula dia yang mendatangi
stasiun televisi, kini merekalah yang minta Diana membuatkan mebel untuk
keperluan mereka. "Saya juga diminta mengisi acara Home And Beauty di SCTV,
yang intinya bagaimana menata interior dengan mengetengahkan penampilan
interior sebelum dan sesudah ditata," ujarnya.

Mereka secara tak langsung menyatakan usahanya masih "kelas" menengah ke
bawah, namun dengan klien dari kalangan menengah ke atas. Alasannya, orang
yang ingin menampilkan "dirinya" lewat interior biasanya memiliki uang lebih
banyak daripada kebutuhan mereka bila berbelanja interior di toko mebel
biasa.

Bayaran yang biasa dipungut para desainer interior-selain biaya untuk
berbelanja bahan dan membayar tukang-berkisar antara 7 hingga 10 persen dari
nilai proyek. Sementara harga mebel buatan mereka amat bervariasi,
tergantung dari desain, penggunaan bahan, serta tingkat kesulitan
pembuatannya.

Agar tidak ketinggalan tren, para desainer interior dan produsennya ini
harus rajin mengikuti perkembangan tren mebel dengan segala aksesorinya.
Menurut Hery, barang-barang kecil yang berkaitan dengan mebel, seperti
engsel lemari, rel, dan pegangan pintu amat beragam model, warna dan
kualitasnya. "Hal seperti ini tidak bisa kita dapatkan hanya lewat majalah
interior, tetapi kita sendiri mesti rajin jalan-jalan ke pusat-pusat
peralatan interior. Ini belum termasuk perkembangan warna dan corak kain
pelapis yang juga sangat banyak jenisnya," tuturnya.

Beragamnya produk mebel para desainer sekaligus produsen interior ini
membuat harga satuan mebel mereka pun sangat bervariasi, dari sekitar Rp
250.000 sampai puluhan juta rupiah. Sedang omzetnya dalam setahun berkisar
antara ratusan juta rupiah hingga dua miliar rupiah. Sangat lumayan.. (CP)

Tidak ada komentar: