05 Juni, 2008

Warisan Hidup Paling berharga

Alumni Pika yang berbahagia,
Pernahkah anda membayangkan, warisan apakah yang akan anda tinggalkan kepada
anak anda kelak ? Sudahkah anda mulai menyiapkan warisan itu dari sekarang ?
Pemikiran Gede Prama berikut ini dapat memberi inspirasi bagi anda. Silahkan
disimak.


Warisan Hidup Paling berharga
Oleh: Gede Prama

Ada sebuah kegiatan yang hampir selalu dilakukan oleh setiap keluarga begitu
ditinggalkan orang tua : membagi warisan. Positifnya, ini membuat
putera-puteri yang ditinggalkan orang tuanya memiliki nafas yang relatif
lebih panjang dalam hidup dan kehidupan. Negatifnya, warisan juga mengurangi
keikhlasan orang-orang yang ditinggalkan. Anda bisa bayangkan, bagaimana
tingkat kemurnian dan keikhlasan doa sekumpulan orang, kalau di kepalanya
senantiasa terbayang tanah, rumah, mobil yang sebentar lagi menjadi milik
kita secara gratis.

Entah bagaimana pengalaman Anda bertutur, pengalaman saya melayat di banyak
keluarga yang kaya secara materi menunjukkan, justru unsur negatifnya yang
lebih sering kelihatan. Baru saja dokter mendeklarasikan bahwa pasiennya
meninggal secara medis, dan belum sempat mayat almarhum (almarhumah)
dimandikan, mata orang-orang yang hadir sudah dipenuhi dengan kecurigaan dan
kebencian. Ada kecurigaan, jangan-jangan saat pembagian warisan nanti ia
dibohongi kakak atau adiknya. Ada kebencian, bahwa sang orang tua sakit dan
kemudian meninggal disebabkan oleh kenakalan salah seorang anaknya.
Sehingga dalam totalitas, warisan kekayaan materi yang diniatkan hampir
semua orang tua sebagai lambang limpahan cinta dan kasih sayang, di ujung
kematian pemiliknya justru berubah menjadi kecurigaan dan kebencian.
Entahlah, apakah orang meninggal mengenal kegiatan sedih dan menangis. Yang
jelas, kalau saja mereka bisa menangis, mugkin tangisan mereka amat
mengharukan. Gunungan harta yang dikumpulkan dengan jutaan tetesan keringat
dan banyak pengorbanan, ternyata pada akhirnya hanya berfungsi sebagai
sarana kebencian dan permusuhan.

Sebagai seorang penutur kehidupan, yang meramu pengalaman dan bacaan ke
dalam rangkaian cerita, sering kali saya dipaksa oleh sang kehidupan untuk
bertutur apa yang saya pribadi alami. Kadang rikuh dan malu. Sebab, mudah
sekali tergelincir dalam kesombongan dan keakuan. Namun, wibawa dan karisma
sebuah cerita akan jauh lebih tinggi kalau kita menceritakan apa yang kita
lakukan.

Dalam spirit terakhir, izinkan saya bertutur apa yang dilakukan sang
kehidupan pada diri saya pribadi. Dan maafkan kalau ada yang menyimpulkan
bahwa saya sedang tergelincir dalam kesombongan dan keangkuhan - sebuah
resiko yang harus saya ambil untuk menjaga wibawa cerita.

Setahun lebih setelah ayahanda tercinta meninggal dunia, kami sekeluarga
memang dihadapkan pada keharusan untuk mengkavling sejumlah warisan yang
ditinggalkan. Dalam ukuran orang kaya di kota, jumlah harta yang
ditinggalkan memang tidak seberapa. Namun, bila ukurannya adalah kehidupan
orang miskin di desa, syukur sekali Ayah meninggalkan banyak perpanjangan
nafas kehidupan.

Sebagaimana biasa, membagi harta bukanlah perkara yang terlalu mudah. Namun,
seorang saudara wanita menyebut saya sebagai orang bodoh. Sebab, mengikuti
saja kehendak kakak-kakak tanpa pemikiran dan penolakan berarti. Dan dalam
setiap arah pembicaraan yang menuju konflik, saya menyediakan diri sebagai
pihak yang mungkin bisa memperoleh lebih sedikit.

Alasannya sederhana, burung gereja tidak menanam pohon, tidak bekerja, tidak
sekolah, tidak berdoa namun diberi penghidupan oleh Tuhan. Masak manusia
dengan sejumlah kelebihannya dibiarkan sengsara. Inilah kerangka hidup dan
kehidupan saya. Suka tidak suka, setuju tidak setuju, inilah yang kerap saya
lakukan. Tidak saja berkaitan dengan pembagian warisan, dalam mempertahankan
kursi kekuasaanpun, sikap yang serupa sering menandai hidup saya. Silahkan
diambil kapan saja saya rela. Bagi orang Amerika yang asertif, mungkin ini
disebut dengan kebodohan yang pasif. Namun bagi orang bodoh seperti saya
ini, sikap-sikap seperti ini diharapkan bisa menjadi warisan keteladanan
bagi putera-puteri saya di rumah.

Kembali ke cerita awal tentang warisan, ia memang bisa menaikkan libido
keserakahan. Menghilangkan keikhlasan dalam berdoa. Dan bukan tidak mungkin
menghancurleburkan sejumlah keluarga yang membaginya. Dan karena demikian
mahalnya harga semua ini (libido keserakahan, keikhlasan doa dan keutuhan
keluarga), maka sampai sekarang saya termasuk orang yang tidak terlalu
bercita-cita untuk mewariskan banyak harta pada anak-anak.

Bukan karena tidak mencintai dan tidak mengkhawatirkan masa depan anak,
tetapi karena saya memiliki pengertian berbeda tentang warisan yang paling
berharga dalam hidup. Warisan hidup yang paling berharga, paling tidak
menurut orang pasif dan tidak asertif seperti saya ini, adalah
keteladanan-keteladanan hidup. Dan saya sudah memperolehnya lebih dari cukup
dari Ayahanda tercinta. Beliau bukan saja mewariskan harta, namun
keteladanan-keteladanan hidup yang mengagumkan. Salah satunya mengisi
seluruh hidupnya dengan cinta dan kesederhanaan hidup. Bahkan, saya
merasakannya sendiri, cintanya berumur lebih panjang dari umur badan
kasarnya.

Harta memang akan hilang dan musnah oleh waktu. Namun, keteladanan akan
menghuni hati dan jiwa setiap anak dan cucu yang kita tinggalkan. Inilah
alasan paling sederhana kenapa cinta saya amat mendalam terhadap almarhum
Ayahanda tercinta. Selamat jalan ayahanda tercinta, keteladananmu sudah saya
teruskan pada banyak orang yang juga membaca tulisan singkat ini.